Sabtu, 21 April 2012

Analisis Puisi “Usia 44” Karya Joko Pinurbo Dalam Buku Kumpulan Puisi Kepada Cium



Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman

Dua ekor celana terbang rendah
Dengan kepak sayap yang makin pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan

Dua ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil riang diatas kursi
Di bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan berkicau saja mereka sepanjang petang.

Analisis dari segi semiotik
Dalam semiotik ada hubungan yang disebut struktur triadik (struktur tigaan/triadik). Adapun 3 jenis hubungan yang paling penting adalah hubungan pelaksanaan yaitu icons, indeks, dan symbol. Dalam puisi “usia 44” ini analisis hubungan pelaksana adalah sebagai berikut :


Icons :
Icons adalah hubungan kemiripan. Adapun icons dalam puisi “usia 44” adalag gambar kursi bagai manusia.
Indeks :
Indeks adalah hubungan kedekatan eksistensi. Adapun indeks dalam puisi “usia 44” adalah suara kepakan sayap.
Symbol :
Simbol adalah hubungan yang terbentuk secara konvensional. Adapun symbol dalam puisi “ usia 44” adalah tulisan/ ucapan bagai sebuah kursi.
Puisi “ usia 44” ini menggunakan gaya bahasa personifikasi dimana ada bait yang berbunyi :
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman
Dari semiotiknya ini menandakan bahwa penyair ingin menyampaikan gagasannya tentang persasaannya yang sedang gelisah.
Dua ekor celana terbang rendah
Dengan kepak sayap yang makin pelan.
Disini perasaan penyair mulai bertambah gelisah dan semakin bertambah gelisah dan putus asa.
Dua ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil riang diatas kursi
Di bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan berkicau saja mereka sepanjang petang.
Disini makna semiotiknya bahwa perasaan penyair ingin mengungkapkan bahwa kegelisahan itu tak selamanya kita alami. Dalam bait inilah penyair mulai menunjukkan kegembiraan. Meski kadang sepi itu dating menghampiri, namun penyair tetap mengungkapkan perasaan riangnya dalam bait terakhir “Dan berkicau saja mereka sepanjang petang”.
Sedangkan analisis semiotik itu juga dari bentuknya. Apabila bentuk baitnya menjorok. Puisi yang berjudul “usia 44” ini terdiri dari 3 bait. Dan tiap bait terdiri dari 5 kalimat. Dan dipisahkan oleh tanda (.). sehingga menjadikan interpretasi puisi ini semakin sangat luas.  
Dalam puisi “usia 44” juga terdapat isotopi-isotopi. Isotopi adalah wilayah makna yang terbuka yang terdapat didalam sepanjang wacana. Isotopi ini merupakan satu bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. Oleh karena itu, didalam isotopi makna itu mencakup keutuhannya. Adapun isotopi yang ada pada puisi “jalan ke pantai” antara lain :
1.      Isotopi alam : pohon, hujan, halaman, ekor, terbang, rendah, sayap, warnanya, putih, hinggap, rindang, pojok, berkicau, dan petang.
2.      Isotopi manusia : kurus, duduk, gelisah, pojok, celana, terbang, rendah, pelan, putih, kursi, kiri, kanan, sepi, menggigil, riang, hujan, halaman, mereka, dan sepanjang. 
3.      Isotopi perasaan : gelisah, pelan, sepi, menggigil, dan riang.
4.      Isotopi perbuatan : dua, gelisah, kurus, terbang, pelan, kepak, sayap, hinggap, menggigil, riang, rindang, berkicau, dan sepanjang.
5.      Isotopi waktu : hujan, pojok, dan petang.
6.      Isotopi tempat : kursi, pohon, dan halaman.  
7.      Isotopi penghubung : dua, di, yang, dan, dan saja.
Masing-masing ke-7 isotopi tersebut sangat mendukung kehadiran motif. Motif adalah unsure yang terus menerus di ulang. Kehadiran dari motif ini mendukung tema. Motif-motif yang mendukung tema adalah motif yang sering muncul atau menonjol.
            Motif perbuatan menunjukkan bahwa motif pertama puisi ini adalah aktivitas manusia yang terutama berkaitan dengan gerak. Motif aktivitas manusia yang kaitannya dengan gerak ini menunjukkan sebuah perbuatan yang sedang putus asa dan gelisah.
Kehadiran isotopi alam pohon, hujan, halaman, ekor, terbang, rendah, sayap, warnanya, putih, hinggap, rindang, pojok, berkicau, dan petang. Menunjukkan kepada kita bahwa semua itu adalah metafor, kiasan, dari kehidupan manusia.
Puisi ini diakhiri dengan kalimat “dan berkicau saja mereka sepanjang petang” itu merupakan sebuah pesan yang mana kebiasaan itu akn berlangsung sepanjang masa. Sebuah arapan yang akan terus dikenag pada waktu petang.
Analisis dari segi struktur puisi
Analisis puisi dari segi strukturnya terbagi menjadi 2 unsur pembentuknya. Adapun 2 unsur pembentuk puisi terdiri dari :
1.      Struktur Fisik
Struktur fisik terdiri dari :
a.       Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang bisa diusahakan penyair dengan secermat mungkin. Dalam puisi “Usia 44” ini diksi yang digunakan penyair sangatlah tepat. Karena disini penyair banyak menggunakan makna konotatif, sehingga pembaca akan sulit mengartikan makna yang ada dalam puisi tersebut.
a.       Citraan/ daya dukung
Citraan/daya dukung adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan penyair, maka maka penyair menggunakan segenap kemampuan imaginasinya, kemampuan melihat, dan merasakan dalam membuat puisi.
Dalam puisi “Usia 44” ini kata-kata yang digunakan pengarang sangatlah kuat, karena kekuatan kata-katanya mampu mewakili keadaan yang sebenarnya. Dimana penyair menggunakan citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, intelektual, gerak, lingkungan, dan juga kesedihan.
b.      The concrete word (kata-kata konkret)
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotative sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai situasi dan kondisi pemakaiaannya. Adapun kata-kata konkret dalam puisi ini terdapat pada bait : 
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman
Dalam bait ini kata-kata konkretnya adalah kursi dan pohon. Sehingga pembaca akan lebih mudah untuk memahaminya.
c.       Figurative language (gaya bahasa)
Gaya bahasa adalah cara yang digunakan penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagi dengan menggunakan gaya bahasa (perbandingan, kiasan,perlambangan). Dalam puisi ini gaya bahasa yang digunakan penyair adalah gaya bahasa personifikasi. Terbukti pada bait ke-1, ke-3, dank ke-7 yaitu :
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dua ekor celana terbang rendah
Dua ekor celana, dua ekor sepi
d.      Rima dan Rhythm (sajak dan irama)
Dalam puisi ini menggunakan nada, tempo, dinamika yang meluapkan perasaan penyair yang gigih dan penuh perjuangan dalam menghadapi tantangan. Sehingga irama yang digunakan dalam puisi ini adalah iranma tetap dan berimajinasi.
1.      Struktur Batin
a)      Sense (tema/arti)
Puisi “Usia 44” ini bertemakan sebuah kegelisahan seorang yang sudah mulai lanjut usianya. Sekan-akan tak ada lagi yang bisa dikerjakan dan keputus asahannya membuat dirinya kurang percaya diri.
b)      Felling (rasa)
Dalam puisi ini penyair ingin menyampaikan sebuah perasaan sedih dan akhirnya penyair membuat felling bahagia di akhir baitnya. Namun semua itu tidaklah mudah dalam menghilangkan kesedihan dan keputus asahan seorang yang sudah lanjut usianya.
c)      Tone (nada)
Dalam puisi ini nadanya memberikan sugesti kepada pembaca agar terasa dalam pengalaman penyair. Dengan menggunakan nada penyair bisa memberikan sugestinya kepada pembaca seperti : “dan berkicau saja mereka sepanjang petang”.


d)     Intention (tujuan)
Tujuan penyair menciptakan puisi tersebut adalah untuk memberikan sebuah ketegaran seorang yang sudah lanjut usia untuk menjalani hidup dengan penuh semangat seperti masa muda dulu. Janganlah putus asah dengan usia.
Analisis dari segi stilistika
Sejak mengandung kepadatan dan ekspresivitas. Hal ini disebabkan karena sajak hanya mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman dari penyairnya saja. Oleh karena itu, terjadi pemadatan artinya hanya yang perlu-perlu saja dinyatakan, sehingga hubungan antar kalimatnya menjadi implicit atau hanya tersirat saja. Disamping itu puisi merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat, sehingga pemahamannya perlu dilakukan secara utuh dan bulat juga. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, pembuatan paraphrase sebelum analisis dilakukan amatlah perlu. (pradopo, 1887 : 127)
Selanjutnya dalam rangka pemahaman struktur globalnya, penelitian lebih menekankan pada aspek penggunaan bahasanya, dalam hal ini adalah aspek stilistiknya atau gaya bahasanya yang meliputi gaya dalam kalimatnya atau gaya bahasanya yang meliputinya gaya dalam kalimat, kata, dan bunyi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Abrams (1981 : 190-191) yang mengatakan bahwa gaya bahasa suatu sastra data dianlisis dalam hal diksi, susunan kalimat, kepadatan, dan tipe-tipe bahasa kiasanya, pola-pola ritmenya, komponen bunyinya, cirri-ciri formal lainnya, dan tujuan-tujuan serta sarana retorikanya. 
Aspek gaya bahasa dalam puisi “usia 44”
Usia 44
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman

Dua ekor celana terbang rendah
Dengan kepak sayap yang makin pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan

Dua ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil riang diatas kursi
Di bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan berkicau saja mereka sepanjang petang.
Puisi yang berjudul “usia 44” ini menggambarkan kegelisahan dan keputus asahan soseorang dalam menghadapi sebuah usia yangsemakin tua. Hal ini tampak dalam parafrase berikut :
Dua (buah) kursi kurus (sedang) duduk gelisah
Dibawah (sebuah) pohon hujan di pojok halaman

Dua (buah) ekor celana (sedang) terbang (dengan) rendah
Dengan (sebuah) kepak sayap yang (se) makin pelan (saja).
Yang warnanya putih hinggap (menuju) di kursi (yang) kiri.
(sedangkan) yang putih warnanya hinggap (menuju) di kursi (yang) kanan

Dua (buah) ekor celana, (dan) dua (buah) ekor sepi
(keduanya sedang) menggigil riang diatas (sebuah) kursi
(Sambil duduk) di bawah rindang hujan dipojok (sebuah) halaman 
Dan berkicau saja mereka (dalam) sepanjang petang.
Oleh karena sebuah sajak mementingkan untuk mengemukakan inti masalah dan inti pengalaman, maka terjadilah pemadatan. Hal in mengakibatkan hubungan antar kalimat dalam sajak tersebut lebih bersifat implisit. Selanjutnya gaya kalimat yang demikian ini dapat disebut gaya implisit (Pradopo, 1991 : 10). Gaya kalimat yang implicit tersebut juga terlihat pada puisi ini, seperti tampak pada baris ke-7, ke-8, ke-9, dan ke-10. Untuk memperjelas hubungan kedua kalimat tersebut, maka perlu disisipkan kata sebagai penghubungnya.
Dua (buah) ekor celana, (dan) dua (buah) ekor sepi
(keduanya sedang) menggigil riang diatas (sebuah) kursi
(Sambil duduk) di bawah rindang hujan dipojok (sebuah) halaman 
Dan berkicau saja mereka (dalam) sepanjang petang.
Dalam sajak ini terlihat penggunaan kalimat yang dimaksudkan untuk mengibaratkan seperti manusia. Suatu hal atau keadaan. gaya seperti ini disebut dengan Gaya bahasa personifikasi. Gaya bahasa tersebut terlihat pada bait ke-1, ke-3, dan ke-7 dalam puisi dibawah ini :
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman

Dua kursi kurus duduk gelisah adalah mengibaratkan sepasang manusia yang sudah renta dan sedang gelisah. Seakan-akan mereka sudah tak lagi punya harapan dan sudah renta dalam menjalani kehidupan.
Demikian juga gaya bahasa personifikasi juga nampak pada bait yang ke-3 yaitu :
Dua ekor celana terbang rendah
Dengan kepak sayap yang makin pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan
Dua ekor celana terbang rendah adalah ungkapan seorang penyair dimana sepasang manusia itu sudah semakin putus asa dan seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk menjalani hidup didunia ini.  
Dua ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil riang diatas kursi
Di bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan berkicau saja mereka sepanjang petang.
Dalam “dua ekor celana, dua ekor sepi” dan “menggigil riang diats kursi” adalah ungkapan penyair yang menunjukkan bahwa suasananya sudah gembira dan sudah ada keinginan untuk menjadikan dirinya semangat lagi.
Suasana yang mendominasi puisi ini adalah suasana hati yang sedih,gelisah, dan putus asa. Suasana tersebut tampil lewat arti kata-kata dan kalimatnya serta ditunjang oleh dominasi bunyi ringan, yakni asonansi bunyi i dan sajak akhirnya i, dan n. dominasi bunyi i dan n tersebut lebih terlihat pada bait ke-2, dan ke-3. Terlihat dalam bait di bawah ini :

Dua ekor celana terbang rendah
Dengan kepak sayap yang makin pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.

Dua ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil riang diatas kursi
Di bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan berkicau saja mereka sepanjang petang.
Asonansi bunyi i dan n tersebut telah menimbulkan kesan yang sedih dan memelas sehingga suasana kesedihan jelas tergambarkan dalam puisi tersebut.




2 komentar:

  1. Analisis yg bagus kawan. Lanjutkan berkarya...
    Puisi Joko Pinurba memang menarik n menggelitik.
    Mampir di blog-ku ya... www.sastra33.co.cc

    BalasHapus