Dua
kursi kurus duduk gelisah
Dibawah
pohon hujan di pojok halaman
Dua
ekor celana terbang rendah
Dengan
kepak sayap yang makin pelan.
Yang
warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang
putih warnanya hinggap di kursi kanan
Dua
ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil
riang diatas kursi
Di
bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan
berkicau saja mereka sepanjang petang.
Analisis dari segi semiotik
Dalam
semiotik ada hubungan yang disebut struktur triadik (struktur tigaan/triadik).
Adapun 3 jenis hubungan yang paling penting adalah hubungan pelaksanaan yaitu
icons, indeks, dan symbol. Dalam puisi “usia 44” ini analisis hubungan pelaksana
adalah sebagai berikut :
Icons
:
Icons adalah hubungan kemiripan. Adapun icons dalam
puisi “usia 44” adalag gambar kursi bagai manusia.
Indeks
:
Indeks adalah hubungan kedekatan eksistensi. Adapun
indeks dalam puisi “usia 44” adalah suara kepakan sayap.
Symbol
:
Simbol adalah hubungan yang terbentuk secara
konvensional. Adapun symbol dalam puisi “ usia 44” adalah tulisan/ ucapan bagai
sebuah kursi.
Puisi
“ usia 44” ini menggunakan gaya bahasa personifikasi dimana ada bait yang
berbunyi :
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman
Dari
semiotiknya ini menandakan bahwa penyair ingin menyampaikan gagasannya tentang
persasaannya yang sedang gelisah.
Dua
ekor celana terbang rendah
Dengan
kepak sayap yang makin pelan.
Disini
perasaan penyair mulai bertambah gelisah dan semakin bertambah gelisah dan
putus asa.
Dua
ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil
riang diatas kursi
Di
bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan
berkicau saja mereka sepanjang petang.
Disini
makna semiotiknya bahwa perasaan penyair ingin mengungkapkan bahwa kegelisahan
itu tak selamanya kita alami. Dalam bait inilah penyair mulai menunjukkan
kegembiraan. Meski kadang sepi itu dating menghampiri, namun penyair tetap
mengungkapkan perasaan riangnya dalam bait terakhir “Dan berkicau saja mereka
sepanjang petang”.
Sedangkan
analisis semiotik itu juga dari bentuknya. Apabila bentuk baitnya menjorok.
Puisi yang berjudul “usia 44” ini terdiri dari 3 bait. Dan tiap bait terdiri
dari 5 kalimat. Dan dipisahkan oleh tanda (.). sehingga menjadikan interpretasi
puisi ini semakin sangat luas.
Dalam
puisi “usia 44” juga terdapat isotopi-isotopi. Isotopi adalah wilayah makna
yang terbuka yang terdapat didalam sepanjang wacana. Isotopi ini merupakan satu
bagian dalam pemahaman yang memungkinkan pesan apapun untuk dipahami sebagai
suatu perlambangan yang utuh. Oleh karena itu, didalam isotopi makna itu
mencakup keutuhannya. Adapun isotopi yang ada pada puisi “jalan ke pantai”
antara lain :
1. Isotopi
alam : pohon, hujan, halaman, ekor, terbang, rendah, sayap, warnanya, putih,
hinggap, rindang, pojok, berkicau, dan petang.
2. Isotopi
manusia : kurus, duduk, gelisah, pojok, celana, terbang, rendah, pelan, putih,
kursi, kiri, kanan, sepi, menggigil, riang, hujan, halaman, mereka, dan
sepanjang.
3. Isotopi
perasaan : gelisah, pelan, sepi, menggigil, dan riang.
4. Isotopi
perbuatan : dua, gelisah, kurus, terbang, pelan, kepak, sayap, hinggap,
menggigil, riang, rindang, berkicau, dan sepanjang.
5. Isotopi
waktu : hujan, pojok, dan petang.
6. Isotopi
tempat : kursi, pohon, dan halaman.
7. Isotopi
penghubung : dua, di, yang, dan, dan saja.
Masing-masing
ke-7 isotopi tersebut sangat mendukung kehadiran motif. Motif adalah unsure
yang terus menerus di ulang. Kehadiran dari motif ini mendukung tema.
Motif-motif yang mendukung tema adalah motif yang sering muncul atau menonjol.
Motif perbuatan menunjukkan bahwa
motif pertama puisi ini adalah aktivitas manusia yang terutama berkaitan dengan
gerak. Motif aktivitas manusia yang kaitannya dengan gerak ini menunjukkan sebuah
perbuatan yang sedang putus asa dan gelisah.
Kehadiran
isotopi alam pohon, hujan, halaman, ekor, terbang, rendah, sayap, warnanya,
putih, hinggap, rindang, pojok, berkicau, dan petang. Menunjukkan kepada kita
bahwa semua itu adalah metafor, kiasan, dari kehidupan manusia.
Puisi
ini diakhiri dengan kalimat “dan berkicau saja mereka sepanjang petang” itu
merupakan sebuah pesan yang mana kebiasaan itu akn berlangsung sepanjang masa.
Sebuah arapan yang akan terus dikenag pada waktu petang.
Analisis dari segi struktur puisi
Analisis
puisi dari segi strukturnya terbagi menjadi 2 unsur pembentuknya. Adapun 2
unsur pembentuk puisi terdiri dari :
1. Struktur
Fisik
Struktur fisik terdiri dari :
a. Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang bisa diusahakan
penyair dengan secermat mungkin. Dalam puisi “Usia 44” ini diksi yang digunakan
penyair sangatlah tepat. Karena disini penyair banyak menggunakan makna
konotatif, sehingga pembaca akan sulit mengartikan makna yang ada dalam puisi
tersebut.
a. Citraan/
daya dukung
Citraan/daya dukung adalah kemampuan kata-kata yang
dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu
merasakan apa yang dirasakan penyair, maka maka penyair menggunakan segenap
kemampuan imaginasinya, kemampuan melihat, dan merasakan dalam membuat puisi.
Dalam puisi “Usia 44” ini kata-kata yang digunakan
pengarang sangatlah kuat, karena kekuatan kata-katanya mampu mewakili keadaan
yang sebenarnya. Dimana penyair menggunakan citraan penglihatan, pendengaran,
penciuman, intelektual, gerak, lingkungan, dan juga kesedihan.
b. The
concrete word (kata-kata konkret)
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang jika dilihat
secara denotative sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda
sesuai situasi dan kondisi pemakaiaannya. Adapun kata-kata konkret dalam puisi
ini terdapat pada bait :
Dua kursi kurus duduk gelisah
Dibawah pohon hujan di pojok halaman
Dalam bait ini kata-kata konkretnya adalah kursi dan
pohon. Sehingga pembaca akan lebih mudah untuk memahaminya.
c. Figurative
language (gaya bahasa)
Gaya bahasa adalah cara yang digunakan penyair untuk
membangkitkan dan menciptakan imagi dengan menggunakan gaya bahasa
(perbandingan, kiasan,perlambangan). Dalam puisi ini gaya bahasa yang digunakan
penyair adalah gaya bahasa personifikasi. Terbukti pada bait ke-1, ke-3, dank
ke-7 yaitu :
Dua
kursi kurus duduk gelisah
Dua
ekor celana terbang rendah
Dua
ekor celana, dua ekor sepi
d. Rima
dan Rhythm (sajak dan irama)
Dalam puisi ini menggunakan nada, tempo, dinamika
yang meluapkan perasaan penyair yang gigih dan penuh perjuangan dalam
menghadapi tantangan. Sehingga irama yang digunakan dalam puisi ini adalah
iranma tetap dan berimajinasi.
1. Struktur
Batin
a) Sense
(tema/arti)
Puisi “Usia 44” ini bertemakan sebuah kegelisahan
seorang yang sudah mulai lanjut usianya. Sekan-akan tak ada lagi yang bisa
dikerjakan dan keputus asahannya membuat dirinya kurang percaya diri.
b) Felling
(rasa)
Dalam puisi ini penyair ingin menyampaikan sebuah
perasaan sedih dan akhirnya penyair membuat felling bahagia di akhir baitnya.
Namun semua itu tidaklah mudah dalam menghilangkan kesedihan dan keputus asahan
seorang yang sudah lanjut usianya.
c) Tone
(nada)
Dalam puisi ini nadanya memberikan sugesti kepada
pembaca agar terasa dalam pengalaman penyair. Dengan menggunakan nada penyair
bisa memberikan sugestinya kepada pembaca seperti : “dan berkicau saja mereka
sepanjang petang”.
d) Intention
(tujuan)
Tujuan penyair menciptakan puisi tersebut adalah
untuk memberikan sebuah ketegaran seorang yang sudah lanjut usia untuk
menjalani hidup dengan penuh semangat seperti masa muda dulu. Janganlah putus
asah dengan usia.
Analisis dari segi stilistika
Sejak
mengandung kepadatan dan ekspresivitas. Hal ini disebabkan karena sajak hanya
mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman dari penyairnya saja. Oleh
karena itu, terjadi pemadatan artinya hanya yang perlu-perlu saja dinyatakan,
sehingga hubungan antar kalimatnya menjadi implicit atau hanya tersirat saja.
Disamping itu puisi merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat, sehingga
pemahamannya perlu dilakukan secara utuh dan bulat juga. Untuk memudahkan
pemahaman seperti itu, pembuatan paraphrase sebelum analisis dilakukan amatlah
perlu. (pradopo, 1887 : 127)
Selanjutnya
dalam rangka pemahaman struktur globalnya, penelitian lebih menekankan pada
aspek penggunaan bahasanya, dalam hal ini adalah aspek stilistiknya atau gaya
bahasanya yang meliputi gaya dalam kalimatnya atau gaya bahasanya yang
meliputinya gaya dalam kalimat, kata, dan bunyi. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Abrams (1981 : 190-191) yang mengatakan bahwa gaya bahasa suatu
sastra data dianlisis dalam hal diksi, susunan kalimat, kepadatan, dan tipe-tipe
bahasa kiasanya, pola-pola ritmenya, komponen bunyinya, cirri-ciri formal
lainnya, dan tujuan-tujuan serta sarana retorikanya.
Aspek
gaya bahasa dalam puisi “usia 44”
Usia 44
Dua
kursi kurus duduk gelisah
Dibawah
pohon hujan di pojok halaman
Dua
ekor celana terbang rendah
Dengan
kepak sayap yang makin pelan.
Yang
warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang
putih warnanya hinggap di kursi kanan
Dua
ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil
riang diatas kursi
Di
bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan
berkicau saja mereka sepanjang petang.
Puisi
yang berjudul “usia 44” ini menggambarkan kegelisahan dan keputus asahan
soseorang dalam menghadapi sebuah usia yangsemakin tua. Hal ini tampak dalam
parafrase berikut :
Dua
(buah) kursi kurus (sedang) duduk gelisah
Dibawah
(sebuah) pohon hujan di pojok halaman
Dua
(buah) ekor celana (sedang) terbang (dengan) rendah
Dengan
(sebuah) kepak sayap yang (se) makin pelan (saja).
Yang
warnanya putih hinggap (menuju) di kursi (yang) kiri.
(sedangkan)
yang putih warnanya hinggap (menuju) di kursi (yang) kanan
Dua
(buah) ekor celana, (dan) dua (buah) ekor sepi
(keduanya
sedang) menggigil riang diatas (sebuah) kursi
(Sambil
duduk) di bawah rindang hujan dipojok (sebuah) halaman
Dan
berkicau saja mereka (dalam) sepanjang petang.
Oleh
karena sebuah sajak mementingkan untuk mengemukakan inti masalah dan inti
pengalaman, maka terjadilah pemadatan. Hal in mengakibatkan hubungan antar
kalimat dalam sajak tersebut lebih bersifat implisit. Selanjutnya gaya kalimat
yang demikian ini dapat disebut gaya implisit (Pradopo, 1991 : 10). Gaya
kalimat yang implicit tersebut juga terlihat pada puisi ini, seperti tampak
pada baris ke-7, ke-8, ke-9, dan ke-10. Untuk memperjelas hubungan kedua
kalimat tersebut, maka perlu disisipkan kata sebagai penghubungnya.
Dua
(buah) ekor celana, (dan) dua (buah) ekor sepi
(keduanya
sedang) menggigil riang diatas (sebuah) kursi
(Sambil
duduk) di bawah rindang hujan dipojok (sebuah) halaman
Dan
berkicau saja mereka (dalam) sepanjang petang.
Dalam
sajak ini terlihat penggunaan kalimat yang dimaksudkan untuk mengibaratkan
seperti manusia. Suatu hal atau keadaan. gaya seperti ini disebut dengan Gaya
bahasa personifikasi. Gaya bahasa tersebut terlihat pada bait ke-1, ke-3, dan
ke-7 dalam puisi dibawah ini :
Dua
kursi kurus duduk gelisah
Dibawah
pohon hujan di pojok halaman
Dua
kursi kurus duduk gelisah adalah mengibaratkan sepasang manusia yang sudah
renta dan sedang gelisah. Seakan-akan mereka sudah tak lagi punya harapan dan
sudah renta dalam menjalani kehidupan.
Demikian
juga gaya bahasa personifikasi juga nampak pada bait yang ke-3 yaitu :
Dua
ekor celana terbang rendah
Dengan
kepak sayap yang makin pelan.
Yang
warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang
putih warnanya hinggap di kursi kanan
Dua
ekor celana terbang rendah adalah ungkapan seorang penyair dimana sepasang
manusia itu sudah semakin putus asa dan seakan-akan sudah tidak mampu lagi
untuk menjalani hidup didunia ini.
Dua
ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil
riang diatas kursi
Di
bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan
berkicau saja mereka sepanjang petang.
Dalam
“dua ekor celana, dua ekor sepi” dan “menggigil riang diats kursi” adalah
ungkapan penyair yang menunjukkan bahwa suasananya sudah gembira dan sudah ada
keinginan untuk menjadikan dirinya semangat lagi.
Suasana
yang mendominasi puisi ini adalah suasana hati yang sedih,gelisah, dan putus
asa. Suasana tersebut tampil lewat arti kata-kata dan kalimatnya serta
ditunjang oleh dominasi bunyi ringan, yakni asonansi bunyi i dan sajak akhirnya i,
dan n. dominasi bunyi i dan n tersebut lebih terlihat pada bait ke-2, dan ke-3. Terlihat dalam
bait di bawah ini :
Dua
ekor celana terbang rendah
Dengan
kepak sayap yang makin pelan.
Yang
warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Dua
ekor celana, dua ekor sepi
Menggigil
riang diatas kursi
Di
bawah rindang hujan dipojok halaman
Dan
berkicau saja mereka sepanjang petang.
Asonansi
bunyi i dan n tersebut telah menimbulkan kesan yang sedih dan memelas sehingga
suasana kesedihan jelas tergambarkan dalam puisi tersebut.
Analisis yg bagus kawan. Lanjutkan berkarya...
BalasHapusPuisi Joko Pinurba memang menarik n menggelitik.
Mampir di blog-ku ya... www.sastra33.co.cc
OKKKK...
BalasHapus