Sabtu, 09 Juni 2012
SEMILIR HARAPAN DARI PESISIR
Sejak
aku mengenal arti hidup, Alhamdulillah
kehidupanku semakin semangat dan bermakna. Aku telah mengalami banyak kegagalan
dan hal-hal yang membuatku belajar dari keadaan yang telah aku alami. Pada saat
hari sudah mulai ingin memejamkan sinarnya, saat itulah aku berusaha untuk
bangkit. Meraih segala yang aku inginkan dan impikan. Saat itulah perasaanku
bangkit bersama impianku.
“Subhanallah,..betapa indahnya senja itu,
apa jadinya kalu tidak ada senja di dunia ini”. Gumam Kholid
Akhirnya
dengan sedikit menarik senyum Kholid menggeleng-gelengkan kepalanya saat
memandang senja di bawah sayup-sayup angin pantai Jatisari. Kholid menemukan
sesosok impian yang telah lama hilang dari dirinya.
Guru
itulah impian yang selama ini dicarinya, padahal sekarang dirinya emang sedang
Kuliah di Jakarta. Kinipun hatinya terbtik untuk menanyaan sebab mengapa
hatinya ingin menjadi seorang Guru. Hingga
akhirnya senja itu berubah menjadi petang, berarti impian itu harus segera
terwujud.
“Kayaknya
ada yang merenung dibawah senja ni,..”. sapa Kholifah
“Hmmm…
hanya sekedar menghirup udara segar saja”. Jawab Kholid.
Kholifah
pun akhirnya mendekati Kholid yang hanya duduk di bawah hamparan pasir putih di
pantai Jatisari, bersama dengan deburan ombak yang meriuk-riuk membelah karang.
Sebuah wajah yang putih bersih dengan senyum yang manis menyambut mata Kholid.
“Kok
sendirin di pantai sih Kholid?”. Tanya Kholifah.
Kholid
hanya mengangguk-angguk sambil memandang wajah Kholifah yang berada
disampingnya. Karena setelah lama berpisah akhirnya Kholid bisa bertemu dengan
Kholifah lagi. Karena semenjak lulus dari SMA Kholid tidak pernah lagi
menikmati indahnya Senja di pantai Jatisari bersama Kholifah, seperti masa-masa
SMA dulu. Sebab perpisahan hubungannya dengan Khilofah. Dan harus meninggalkan
Kholifah pergi jauh selama dirinya menuntut ilmu di Jakarta.
Ketika
itu Kholid dan Kholifah memutuskan untuk mengakhiri hubungannya. Dengan adanya
jarak yang memisahkannya, Kholid kuliah di Jakarta dan Kholifah kuliah di
Tuban, dan sambil kerja sampingan menjadi Guru PAUD Pertiwi didesanya. Kholifah
memang tidak ingin membuat jarak diantara cintanya itu, lebih baik dia
mengambil keputusan sekarang untuk mengakhiri hubungannya dengan Kholid.
Daripada nantinya di tengah jalan ada hal-hal yang tidak diinginkan mereka
berdua.
Makannya
begitu mengetahui bahwa Kholid pulang Ke Jatisari karena libur semesteran.
Kholifah langsung ingin bertemu dengan Kholid. Kholifah merasa bersalah sekali
karena sudah memutuskan hubungannya dengan Kholid. Dia ingat betul bahwa Kholid
sangat marah sekali saat mendengar keputusannya untuk mengakhiri hubungan
mereka dulu.
Kholifah
semakin bingung harus bersikap bagaimana kepada Kholid yang dulu bekas
kekasihnya. Ingin memulai perbincangan apa dan membahas apa. Semua serasa
kesana-kemari pikirannya.
“Bagaimana
keadaanmu sekarang Kholifah?”. Pertanyaan itu membuyarkan pikiran Kholifah yang
dari tadi bingung.
“Oh…iya
Alhamdulillah masih sama seperti
dulu”. Jawab Kholifah.
Kholid
akhirnya mengajak Kholifah pergi ke Café Trio yang berada tak jauh dari pinggir
pantai Jatisari itu. Mereka bercanda kesana kemari dengan penuh kegembiraan,
seolah-olah mereka berdua kembali bertemu saat sudah terpisah bertaun-taun.
“Pertemuan
ini merupakan pertemuan kita yang sudah terpisah selama bertaun-taun yaw
Kholifah”. Kata Kholid.
“Bagaimana
kuliahmu di Jakarta? Sudahkan dirimu mendapatkan impianmu disana?”. Tanya
Kholifah.
“Aku
masih belum menemukan impiankiu di Jakarta, karena aku masih belum bisa menjadi
sosok yang bijaksana dalam hidup”. Jawab Kholid.
Kholid
pun akhirnya menceritakan kehidupannya di Jakarta. Bahwa selama ini dirinya
selalu berfoya-foya dan tak mempedulikan kehidupannya. Dirinya selalu menuruti
keinginnannya untuk menghambur-hamburkan uangnya. Hingga akhirnya dirinya di
rampok oleh preman-preman yang mangkal di pinggiran Jakarta. Dan dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, dan
akhirnya tak satupun barang miliknya tertinggal. Dan diapun dianiaya dan
pingsan kemudian dibuang dipinggir jalan.
Beruntung
saja Allah masih memberikan kesempatan hidup kepada Kholid, dengan lewatnya
seorang kakek tua renta yang bernama Mbah Punjol. Mbah Punjol lah yang
menyelamatkan Kholid dan membawanya ke Gubuknya di Pinggir jembatan.
“Bagaimana
keadaanmu nak, mana yang sakit?”. Tanya Mbah Punjol.
Akupun
berbicara pelan dan masih menahan rasa sakit diseluruh tubuhku.aku tak bisa
berbuat apa-apa hanya saja suara pelanku mengatakan, “aku ingin minum mbah”,
kataku. Aku tak tau apakah senja ataupun pagi yang ada diluar sana. Yang kulihat
hanyalah atap Gubuk yang sudah retak.
“Apakah
sudah agak baikan nak?” Tanya mbah Punjol.
“Alhamdulillah mbah sudah agak enakan
tubuhku, simbah mau kemana? Bukannya hari masih sangat dingin untuk keluar
Mbah?”.
“Memang
dingin masih sangat terasa dalam kulitku, dan itu pun menandakan bahwa ini
masih pagi, pikirku”.
Mbah
Punjol agak tersentak dengan perkataanku, namun dia hanya tersenyum dan
langsung mengambil karung dibawah meja. Aku hanya terdiam dan mengamatinya tak
berani lagi berkata apa-apa.
“Orang
boleh saja berpangku tangan, dan melanjutkan mimpinya sampai matahari pagi
menampakkan kegagahannya. Namun bagi Mbah Punjol dia sudah pergi untuk mengais
rejeki dari memulung”.
Melihat
keadaan itu kholid menjadi sadar akan kelakuan hidupnya selama ini, yang hanya
menghambur-hamburkan uang dari Ayah dan Ibunya. Kesadaran itu akhirnya menjadi
sebuah motivasi baru bagi kehidupannya sekarang dan akhirnya impian untuk
menjadi seorang Guru akan bisa diwujudkannya dengan kesadaran itu.
“Ini
lah hidupku sekarang Kholifah”, bisa di katakana sekarang aku sudah berubah.
Namun aku juga tidak mau sombong dengan diriku sekarang. Memang impianku untuk
menjadi seorang Guru masih belum terwujudkan. Namun dengan modal kepercayaan
dan ketulusan dari dalam hatiku aku yakin impianku akan terwujud nantinya.
Senja
di pinggir pantai Jatisari semakin menghilang dan suasana Café Trio semakin
ramai pengunjung. Kholid dan Kholifah segera siap-siap untuk meninggalkan Café Trio
itu. Setelah beberapa jam berada di dalam Café Trio dan bercerita panjang
tentang perpisahannya dengan Kholifah dan kehidupannya di Jakarta. Kini
Kholifah hanya bisa mengangguk-angguk sembari tersenyum manis didepan Kholid.
“Mau
saya antar ke rumahmu, Kholifah? Ajak Kholid.
“Terima
kasih, Kholid, kamu memang baik, namun saya tidak ingin merepotkanmu. Saya
pulang sendiri saja, lagian ini masih belum terlalu malam kok”.
“Jangan
Kholifah, tidak baik kamu menolak ajakanku”.
“Bukankah
akan terasa aman kalau kamu aku antar sampai rumah, takutnya terjadi apa-apa
nanti dijalan, lagian ini sudah malam”.
“Baiklah
aku tak mungkin lagi menolak ajakanmu Kholid”.
Memang
dulu kedekatanku dengan Kholifah sudah begitu akrab, bahkan bapak Ibu Kholifah
merestui hubungan kami. Namun gara-gara keputusan Kholifah untuk jauh dari
diriku lah yang menyebabkan hubungan kami putus di tengah jalan. Aku pun
mengantarkan Kholifah sampai didepan rumahnya. Dan aku langsung saja pamit
untuk segera pulang ke rumah.
Menjadi
seorang anak yang dirul walidain itu
memang sangatlah susah, karena kita memang sudah mengenal kehidupan luar, namun
sekarang Kholid ingin sekali menjadi anak yang dirul walidain kepada kedua orang tuanya. Kholid ingin sekali
membahagiakan kedua orang tuanya dengan mewujudkan keinginannya. Salah satu
keinginan orang tuanya adalah Kholid bisa menjadi seorang Guru dan menjadi
tiang keluarga.
Kini
hidup itu semakin bermakna dengan sebuah langkah-langkah yang pasti. Terus
berjalan dengan sejengkah demi sejengkah. Menapaki gelora kehidupan yang
semakin penuh tantangan. Yang membutuhkan sebuah pengorbanan dan ketulusa hidup
dalam mencapai suatu impian.
Langit
merah mulai menghitam setelah keriuhan ombak dipantai Pesisir tempat tinggal
Kholid, kini berubah menjadi lalu-lalang kehidupan kota, yang jauh dari
kesejukan pantai. Kholid pun kembali ke Jakarta lagi untuk melanjutkan
aktifitas perkuliahannya.
“Kholid
sdh blik lgi ke JKT, ya?”. Tanya Kholifah lewat sms.
Kholid
pun membalas sms dari Kholifah, “ya, q udh blik lgi ke, JKT. 5f y tdk pmit sma
drimu”.
Kholid
memang masih menginginkan Kholifah menjadi pendamping hidupnya, namun dengan
keputusan yang dibuat Kholifah dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk
memperjuangkan Cintanya itu.
“Aku
harus bisa, setelah aku menyelesaikan study ku ini dan berhasil menggapai
impianku, aku akan segera kembali lagi untuk memperjuangkan cintaku itu”.
Hari
demi hari dijalaninya dengan senyum, semangat, dan selalu syukur dengan keadaan
hidupnya. Demikianlah hari-harinya dijalaninya, Kholid masih berharap bahwa
nanti hidupnya akan berubah sesuai keinginannya dan keputusan itulah Allah yang
menentukan.
Waktu
yang panjang sudah terlewati, tetapi kepercayaan hidup akhirnya membawa Kholid
bisa menyelesaikan Kuliahnya di Jakarta. Namun Kholid masih memilh untuk tetap
hidup di Jakarta atau Kembali Ke Jatisari tempat hidupnya masa kecil.
END
Langganan:
Postingan (Atom)